Sunday, May 31, 2009

Syariah dan Kehidupan: "Hukum Facebook"

Selasa, 26 Mei 2009 04:13

Pertanyaan

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Semoga ustadz beserta keluarganya senantiasa dirahmati Alloh SWT berkat ilmu yang disampaikan kepada pembaca warna islam khususnya dan umumnya kepada umat islam .
Pada Jumat, 22 Mei 2009 , Saya membaca berita NU Online bahwa
Ulama Jatim Akan Fatwakan tentang Facebook,
Yang mau saya tanyakan ke ustadz adalah bagaimana sih sebenarnya hukum face book itu sendiri menurut syariah islam ?
Mohon Penjelasannya
Terima kasih atas jawaban ustadz
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
udien

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Facebook memang sebuah fenomena tersendiri di zaman sekarang ini. Konon dari 235 juta penduduk Indonesia, 813 ribu orang di antaranya menggunakan Facebook. Ini bukan saya yang bilang, tetapi data ini diungkapkan oleh Palo Alto California, pihak pengelola situs jejaring sosial tersebut.
Melejitnya jumlah pengguna Facebook di Indonesia ini ternyata menarik perhatian para ulama dan kiyai di negeri ini. Setidaknya sekitar 700 ulama se-Jawa Timur sempat berkumpul untuk membahas hukum penggunaan facebook.
Rupanya para tokoh Islam sedikit khawatir bahwa meluasnya jejaring sosial tersebut juga dapat berdampak negatif. Misalnya mereka takut kalau digunakan untuk transaksi negatif seperti seks terselubung.
Padahal sebenarnya facebook nyaris punya kemiripan dengan berbagai media elektronik lain, seperti televisi, radio, telepon serta internet. Semua itu pada dasarnya bebas nilai, kecuali setelah diisi dengan berbagai konten. Kalau kontennya bermuatan positif, tentu hukumnya halal. Sebaliknya, kalau kontennya bermuatan negatif, tentu saja hukumnya menjadi menjadi haram atau setidaknya menjadi makruh.
Ada beberapa ulama yang mengharamkan televisi, lantaran beranggapan bahwa televisi punya pengaruh yang negatif. Dan rasanya alasan mereka tidak terlalu salah, kalau kita melihat madharat yang ditimbulkan oleh konten yang dimuat oleh stasiun TV. Bahkan kalangan pemerhati dan pendidik pun sepakat bahwa TV punya banyak madharat.
Tetapi kedudukan pesawat TV sebagai sebuah sarana teknologi, tentu tidak ada yang mengharamkannya. Karena sebagai alat, TV adalah benda yang bebas nilai.
Demikian juga dengan fenomena facebook, banyak pihak yang merasa keberadaannya menghawatirkan, karena adanya penyalahgunaan. Diantaranya untuk sarana bermesum-ria, atau juga untuk bergosip, berhasad, berjunjing, atau menyebarkan berita bohong. Dan beberapa kasus, memang hal itu terjadi.
Walau pun rasanya bukan pada tempatnya untuk mengatakan bahwa semua pengguna facebook pasti melakukan kemaksiatan dan kemungkaran seperti disebutkan. Banyak manfaat yang bisa disebutkan untuk tekonolgi facebook, bahkan bisa digunakan juga untuk berdakwah.
Tidak ada salahnya kalau saya kutipkan beberapa pendapat yang sempat berkembang tentang masalah facebook ini.

Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3)

Salah satu hasil fatwa tentang facebook telah dikeluarkan oleh Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jatim di Pondok Pesantren Putri Hidayatul Mubtadien Lirboyo, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri.
Pertemuan yang dilaksanakan sejak Rabu mengharamkan komunikasi dua orang berlainan jenis yang bukan muhrim baik melalui Facebook. Dan sebenarnya medianya bukan terbatas pada facebook saja, tetapi termasuk di dalamnya Friendster maupun SMS. Dengan syarat bila semua dilakukan secara berlebihan.
"Larangan ini kami keluarkan sesuai aturan agama," kata seorang anggota perumus Komisi C FMP3, Masruhan. Namun jika komunikasi tersebut terkait keinginan untuk menikah, menurut Masruhan, tetap diperbolehkan.
Kiyai Nabil Lirboyo?
Kiyai Nabil Haroen sebagai juru bicara Pondok Pesantren Lirboyo Jawa Timur sempat berkomentar begini, "Para tokoh muslim atau imam di Indonesia berpandangan sebaiknya ada fatwa atau batasan mengenai jejaring sosial maya, di mana dalam pandangan mereka pergaulan terbuka mampu mengundang birahi atau hasrat yang di dalam ajaran Islam diharamkan," .
Namun demikian, beliau tidak mengharamkan facebook secara gebyah uyah. Pesantren Lirboyo, menurut Nabil, masih memperbolehkan santrinya menggunakan Facebook asal tidak mengarah ke hal-hal yang berbau porno atau mengundang birahi.
Nabil meminta bantuan Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar untuk menyosialisasikan hukum haram berhubungan dengan lawan jenis via HP, 3G, Facebook, Friendster.
Sayangnya, berita ini kemudian dibantah oleh pemimpin Pondok Lirboyo, Kiai Idris. Beliau tegas membantah kenal dengan orang yang mengatasnamakan juru bicara Ponpes Lirboyo, Nabil Haroen. "Tidak ada itu, saya bahkan tidak kenal dengan Nabil," .
Kiai Idris mengaku memang ada pertemuan ulama se-Jatim dengan agenda membahas persoalan umat kontemporer. Namun pertemuan itu sama sekali tidak menyinggung tentang hukum Facebook. "Tadi malam pertemuannya selesai, tapi tidak ada bahas itu," ungkapnya. Tentu kabar ini menjadi simpang siur, betulkah ada fatwa sedemikian dari pondok Lirboyo.

Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Bagaimana dengan Majelis Ulama Indonesia? Sepanjang yang saya ketahui, MUI belum berniat membahas Facebook. Anggota MUI Amidhan bahkan menyatakan belum mendengar rencana ulama seJatim tersebut. Kalaupun ulama di Jatim membahasnya, menurut Amidhan, itu semacam keprihatinan.
Secara pribadi, Amidhan menilai situs pertemanan itu tidak melulu berdampak negatif. "Kalau digunakan murni untuk kebaikan, saya kira tidak ada masalah. Tapi kalau menimbulkan hal-hal tidak baik, ya harus ditindak," tuturnya.

Contoh Positif dan Negatif

Dalam pandangan saya, facebook itu sebuah penemuan besar yang bisa menuai manfaat, sekaligus juga punya potensi dimanfaatkan secara negatif.
Namun saya sendiri malah tidak tertarik untuk membuat facebook, meski tiap hari menerima undangan di email untuk menjadi anggota facebook. Saya lebih tertarik untuk membuat situs pribadi, www.ustsarwat. com. Di situs itu saya merasa lebih bebas untuk mengaturnya, tanpa dikomentari orang dengan berbagai macam kata.
Contoh positif dan negatifnya begini, kemarin ada seorang lulusan santriwati yang bercerita kepada saya, bahwa dirinya bisa bersilaturahim dengan teman sesama lulusan santriwati yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan. Dirinya senang sekali karena bisa tahu kabar mereka, bahkan bisa saling kontak.
Tapi di sela kegembiraannya, ada juga kesedihannya. Dia bercerita bahwa dari sekian banyak temannya sesama lulusan pesantren dulu, ternyata ada belasan orang yang di facebooknya berpose tidak pakai jilbab. Bahkan berfoto dengan pacarnya, malah ada yang pacarnya bule segala.
Padahal, lanjutnya, mereka itu dulunya adalah santri yang sangat taat dalam agama. Sama sekali tidak menyangka kalau ternyata sekarang mereka berani tampil di facebook dengan membuka aurat.
Kemudian, dia mengatakan bahwa dialog yang termuat di facebook itu kadang memang agak negatif. Sering menyerempet masalah yang tabu buat kalangan santri. Minimal kurang pantas untuk dimuat, karena berbau seks atau hal-hal negati lain.
Maka kesimpulan saya dalam masalah facebook ini, selama bisa dimanfaatkan secara positif, jauh dari hal-hal yang berbau seksual dan negatif, atau fitnah serta menjelek-jelekknya orang lain atau pihak lain, maka silahkan saja ber-facebook ria.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

by Ust.Ahmad Sarwat, Lc
www.warnaislam.com

Wednesday, May 27, 2009

A Principle Central to the Islamic Social System

By : Adil Salahi, Arab News

Abdullah ibn Abbas, the Prophet’s (peace be upon him) cousin and learned companion reports: “The Prophet was seated at the front of his house in Makkah when Uthman ibn Mathoon passed by and smiled at the Prophet. The Prophet said to him: ‘Would you like to sit with me?’ He said: ‘Yes.’ As he faced him and was talking to him, the Prophet looked up to the sky with his eyes fixed... Then he told him: ‘The messenger God sends me came to me now while you are sitting with me.’ He asked: ‘What did he say to you?’ He replied: ‘God enjoins justice, kindness, and generosity to one’s kindred; and He forbids all that is shameful, and reprehensible conduct, and all transgression. He admonishes you so that you may take heed.’ (16: 90) Uthman says: ‘It was then that I felt faith taking hold of my heart and I loved Muhammad.’” (Related by Al-Bukhari in Al-Adab Al-Mufrad and Ahmad).
Perhaps we should say a word about the man at the center of this Hadith, Uthman ibn Mathoon. Apparently this was in the very early days of Islam, because Uthman was the fourteenth person to accept Islam. He says that he only accepted Islam because he was too shy to refuse, after the Prophet had spoken to him about it several times. But only when this verse was revealed that he felt a strong desire to become a Muslim. He also says that he read this verse to Al-Waleed ibn Al-Mugheerah, one of the Quraysh elders, and he commented on the Qur’an, saying: “It is certainly beautiful; it flows so easily. It is like a tree with fruit at the top and goodness at the bottom, and it is in no way the speech of human beings.” Abu Jahl also said: “God certainly enjoins the best of principles.”
The fact that the Prophet spoke to Uthman ibn Mathoon more than once, inviting him to become a Muslim, suggests that the Prophet recognized in him some very fine qualities. In fact his companionship with the Prophet bears that well. He remained very close to the Prophet who valued his companionship highly. Uthman emigrated to Madinah with the Prophet and he was the first of the Muhajireen, i.e. the Muslims of Makkah, to die in Madinah. As he was lying before his burial, the Prophet kissed his forehead and his eyes were tearful. Indeed when Ibraheem, the Prophet’s son, died in his childhood, the Prophet said to him: “Join our good early companion, Uthman ibn Mathoon.”
There is no doubt that Uthman ibn Mathoon was a man of fine character and good qualities. This is why the Prophet was keen that he should accept Islam. The fact that this verse was the immediate cause of his belief testifies to his good character. Let us now look at this verse and the message it gives. Commenting on it, Sayyid Qutb writes:
This book, the Qur’an, has been revealed in order to bring a nation into existence, and to regulate a community; to establish a different world and initiate a new social order. It represents a world message for all mankind, which does not allow any special allegiance to a tribe, nation or race. Faith is the only bond that unites a community and a nation. It puts forward the principles that ensure unity within the community, security and reassurance for individuals, groups and nations, as well as complete trust that governs all transactions, pledges and promises.
It requires that justice should be established and maintained, because justice ensures a solid and constant basis for all transactions and deals between individuals and communities; a basis subject to no prejudice, preference or favoritism; a basis influenced by no family relationship, wealth or strength; a basis that ensures equal treatment for all and subjects all to the same standards and laws.
Along with justice, the Qur’an urges kindness, which mitigates the strictness of absolute justice. It lays the door open for anyone who wishes to win the heart of an opponent to forgo part of what is rightfully his. This means that the chance is available to all to go beyond strict justice, which is both a right and a duty, to show kindness in order to allow wounds to heal or to win favor.
Kindness has an even broader sense. Every good action is a kindness. The command enjoining kindness includes every type of action and transaction. It thus covers every aspect of life, including a person’s relationships with his Lord, family, community and with the rest of mankind.
Perhaps we should add here that some commentators on the Qur’an say that “justice” is the obligatory part, while “kindness” is voluntary, but highly encouraged, particularly in as far as matters of worship are concerned. They say that this verse is part of the revelations received by the Prophet in Makkah, when the legal provisions had not yet been outlined. But the way the verse is phrased uses both justice and kindness in their broadest sense. Moreover, from a purely ethical point of view, both are generally applicable principles, not mere legal provisions.
One aspect of kindness is “generosity to one’s kindred”, but it is specially mentioned here in order to emphasize its importance. From the Islamic point of view, this is not based on narrow family loyalty, but on the Islamic principle of common solidarity that moves from the smaller, local circle to the larger social context. The principle is central to the implementation of the Islamic social system.
The verse proceeds to outline three prohibitions in contrast with the three orders with which it begins, stating that God “forbids all that is shameful, and reprehensible conduct, and all transgression.” Under shameful conduct everything that goes beyond the limits of propriety is included, but the term is often used to denote dishonorable assault and indecency. Thus it combines both aggression and transgression. Hence it has become synonymous with shamefulness.
“Reprehensible conduct” refers to any action of which pure, undistorted human nature disapproves. Islam also disapproves of any such conduct because it is the religion of pure and sound human nature. Yet human nature may become distorted, but Islamic law remains constant, pointing to what human nature has been like before distortion creeps into it.
“Transgression” in this context denotes injustice as well as any excess that goes beyond what is right and fair.
No community may survive when it is based on the spread of shameful, reprehensible conduct and transgression. No community allows shameful conduct in all its connotations, and reprehensible actions of all sorts, and transgression with all its consequences and then hopes to flourish. Hence human nature is bound to rebel against these whenever they are allowed to spread in society.

Friday, May 15, 2009

Islam dan Demokrasi

Benarkah ada demokrasi dalam Islam? Pertanyaan ini kerap dilontarkan sekelompok orang yang sinis terhadap Islam. Seolah-olah, Islam hanya membicarakan masalah ibadah dan tidak berbicara masalah sosial kemasyarakatan, apalagi menyangkut urusan politik. Pendek kata, Islam hanya dipandang sebelah mata.

Jauh sebelum mereka berbicara masalah demokrasi atau ketika Amerika Serikat (AS) masih mencari bentuk demokrasi yang ideal, 14 abad silam Islam sudah berbicara tentang sistem pemerintahan dan politik. Bahkan, dalam Alquran, banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan persoalan kepemimpinan, sistem pemerintahan, hingga hak setiap umat.

Dan, ketika Rasulullah SAW berhijrah ke Madinah dengan dukungan dari masyarakat Yatsrib (sekarang Madinah) yang menghendaki pemimpin yang jujur dan amanah, mereka menunjuk figur Rasulullah SAW sebagai pemimpinnya. Warga Yatsrib melakukan ikrar dan baiat kepada Nabi Muhammad.

Istilah baiat inilah yang kemudian dipelintir oleh para kelompok anti-Islam dan mengatakan bahwa Islam tidak tahu-menahu persoalan politik. Mereka lupa. Padahal, sejak baiat itu secara perlahan Rasulullah SAW membuat sebuah sistem pemerintahan yang hingga saat ini merupakan contoh negara Islam yang ideal. Itulah negara Madinah.

Bahkan, sistem pemerintahan Islam masa Rasulullah telah melampaui kondisi zamannya. Rasulullah SAW yang menjabat sebagai rasul dan kepala pemerintahan telah melakukan politik luar negeri serta diplomasi dengan negara-negara sekitarnya. Ketika itu juga, Rasulullah membenahi persoalan administrasi dalam negeri dengan membentuk berbagai lembaga. Misalnya, penunjukan seorang gubernur sebagai kepala daerah untuk memerintah di wilayah kekuasaan Islam yang jaraknya jauh dari Madinah. Pada saat itu pula, Rasulullah mengangkat seorang sahabat untuk menjadi hakim di wilayah lainnya.

Kemudian, di zaman Khulafaur Rasyidin, pemerintahan Islam seperti yang dilaksanakan Rasulullah dilanjutkan oleh khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali). Kendati masing-masing sempat mengalami berbagai gejolak dalam pemerintahan, para Khulafaur Rasyidin ini telah mengenalkan sejumlah kebijakan demi kemaslahatan umat. Misalnya, tentang persoalan ekonomi, pajak, fiskal, dan lain sebagainya. Bahkan, dalam pemilihan kekhalifahan, masa Khulafaur Rasyidin telah memulai sistem musyawarah di antara para sahabat. Mereka bermusyawarah mencari pemimpin yang ideal.

Begitu pula ketika masa pemerintahan Islam usai Khulafaur Rasyidin. Di zaman Bani Umayyah dan Abbasiyah, wilayah kekuasaan Islam makin meluas. Tak hanya di wilayah jazirah Arabia, tetapi meluas hingga Persia, Turki, hingga Andalusia (Spanyol).Di berbagai daerah yang ditaklukkan ini, kepala daerah dijabat oleh sahabat atau orang-orang pilihan yang memiliki kapasitas keilmuan. Inilah beberapa contoh sistem pemerintahan Islam.

istem multipartai
Bila sekarang ini dikenal dengan istilah pemilihan umum dengan sistem sistem multipartai, pada masa Khulafaur Rasyidin sudah mengenalkan sistem tersebut. Ketika akan dilakukan pemilihan khalifah pengganti Umar, ia menunjuk sejumlah sahabat untuk menggantikan kedudukannya. Dari sinilah, kemudian muncul kelompok-kelompok pendukung calon khalifah yang mengampanyekan kandidatnya. Begitu pula di zaman khalifah Usman.

Namun, namanya tidak dikhususkan atas nama partai, tetapi kelompok. Begitu pula ketika zaman Ali bin Abi Thalib yang memunculkan kelompok Syiah dan Khawarij.Hingga kemudian, sistem multipartai ini dipraktikkan oleh kelompok Ikhwanul Muslimin yang berbasis di Mesir dengan tokoh utamanya Hasan Al-Banna.

Tak hanya itu, Islam juga memberikan hak yang sama dengan kelompok non-Muslim dalam sebuah sistem pemerintahan. Hak-haknya sebagai warga negara diakui pemerintahan Islam. Begitu pula dengan hak kaum wanita, mereka punya hak untuk menentukan pilihannya. Dan, sebagian besar ulama memperbolehkan perempuan untuk dipilih. Wa Allahu A'lam.